Liputan6.com, Jakarta - Mantan Petinggi Lippo Group Eddy Sindoro dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta atas pemberian suap kepada mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian suap, dilakukan Eddy untuk pengurusan dua perkara anak perusahaan Lippo Group.
"Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Eddy Sindoro pidana 5 tahun denda Rp 250 subsider 6 bulan," ucap jaksa Abdul Basir saat membacakan tuntutan Eddy di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).
Eddy Sindoro dianggap terbukti memberi suap Rp 150 juta dan USD 50 ribu kepada mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution untuk mengurus dua perkara yakni menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam analisa yuridisnya, jaksa merinci pemberian 100 juta terkait eksekusi penundaan aanmaning, peringatan pengadilan kepada pihak berperkara khususnya pihak yang kalah dalam sengketa terhadap PT MTP.
Perusahaan tersebut menghadapi sengketa dengan PT Kymco. Berdasarkan putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 01 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar USD 11,100,000. Namun PT MTP belum melaksanakan putusan tersebut.
Pada 24 Desember 2013 PT Kymco mendaftarkan Putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutuskan putusan SIAC bisa dilakukan di Indonesia.
PT MTP kemudian dipanggil aanmaning oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tak kunjung hadir.
Uang tersebut kemudian diserahkan Doddy kepada Eddy Sindoro pada 18 Desember 2016 di Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat.
Sementara pemberian uang Rp 500 juta diberikan Eddy agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima proses upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL), meski telah melewati batas waktu pendaftaran.
Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Sejak putusan diterbitkan, PT AAL tidak mengajukan PK sampai batas waktu 180 hari.
Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy kembali memerintahkan Wresti untuk mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali dan melakukan pengecekan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Wresti kemudian kembali menemui Edy Nasution agar mau menerima pendaftaran PK PT AAL meski telah melebihi batas waktu. Edy menyanggupi dengan syarat permintaan uang Rp 500 juta. Wresti kembali melaporkan hal itu kepada Eddy Sindoro dan mengamini permintaan Edy. Uang kemudian diserahkan dalam bentuk USD 50 ribu melalui tim kuasa hukum PT AAL.
Belum Pernah Dihukum
Dalam tuntutannya jaksa juga melampirkan hal yang memberatkan dan meringankan.
"Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi, turut merusak citra lembaga peradilan, melarikan diri," ujarnya.
Sementara hal yang meringankan sopan, belum pernah dihukum.
Atas perbuatan tersebut, Eddy didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 65 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
No comments:
Post a Comment