Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menghapus pelaksanaan Ujian Nasional atau UN mulai 2021. Nantinya, UN akan diganti dengan konsep Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Rupanya, ini bukan kali pertama nama UN berubah. Sebelum menjadi UN, sempat ada nama lainnya dalam sistem ujian yang dilaksanakan secara nasional itu.
Misalnya, pada 1980 sampai 2002, UN sempat berganti nama menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas).
Kemudian pada 2003 sampai 2004, Ebtanas berubah menjadi Ujian Akhir Nasional atau UAN.
Berikut transformasi nama UN sejak 1950 hingga 2019, seperti dikutip dari situs Kemendikbud:
Ujian Penghabisan
Ujian Nasional pertama kali dilakukan pada 1950 sampai 1964 dengan sebutan Ujian Penghabisan dan diadakan secara nasional.
Soal-soal Ujian Penghabisan dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Soal-soal yang diujikan berbentuk uraian atau essay dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.
Ujian Negara
Kemudian pada 1965 sampai dengan 1971, ujian akhir yang diterapkan disebut Ujian Negara.
Tujuannya adalah untuk menentukan kelulusan, sehingga siswa dapat melanjutkan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri apabila telah lulus Ujian Negara.
Sedangkan bagi yang tidak lulus Ujian Negara tetap memperoleh ijazah dan dapat melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta.
Ujian Negara kala itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk kelebihannya adalah dapat mendorong siswa giat belajar dan guru mengajar dengan baik serta nilai ujian setiap siswa/sekolah/daerah memiliki makna yang sama dan dapat diperbandingkan (comparable).
Tapi kekurangannya adalah biaya distribusi bahan ujian cukup tinggi, risiko kebocoran soal cukup tinggi, dan tingkat ketidaklulusan peserta didik tinggi.
Ujian Sekolah
Ujian Negara kemudian berganti nama menjadi Ujian Sekolah pada 1972 sampai 1979.
Seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah. Pihak sekolah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan ujian.
Kriteria tamat ditentukan oleh masing-masing sekolah dengan tidak mengenal Lulus atau Tidak Lulus, tetapi menggunakan istilah TAMAT. Biaya ujian sepenuhnya ditanggung oleh peserta didik.
Persentase kelulusan sangat tinggi bahkan dapat dikatakan semua peserta didik lulus (100%), namun mutu lulusan tidak dapat diperbandingkan.
Ujian Sekolah juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk kelebihannya, yakni menurunkan tingkat drop out peserta didik, tidak ada tekanan bagi sekolah dalam hal kelulusan, dan sekolah memiliki otoritas yang tinggi dalam penentuan kelulusan.
Kekurangannya, seperti nilai hasil ujian antar sekolah tidak dapat diperbandingkan, hasil ujian sekolah tidak dapat dilakukan pemetaan sekolah pada tingkat daerah dan nasional, dan hasil ujian tidak dapat dijadikan sebagai alat seleksi.
Ebtanas dan Ebta
Setelah Ujian Sekolah, pada 1980 sampai 2002 berganti nama menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas).
Tujuan dari Ebtanas dan Ebta adalah untuk memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).
Pada awal diberlakukannya mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudian pada tahun berikutnya ditambah dengan beberapa mata pelajaran lainnya. Sejumlah mata pelajaran pokok diujikan melalui Ebtanas, sedangkan mata pelajaran lainnya diujikan melalui Ebta.
Bahan Ebtanas yang berupa kumpulan soal disiapkan oleh pusat (Dit. Pendidikan Dasar dan Menengah). Panitia daerah merakit paket tes dan menggandakannya.
Sedangkan bahan ujian Ebta disiapkan oleh masing-masing sekolah/daerah/wilayah. Tanggung jawab penyelenggaraan Ebtanas dan Ebta adalah sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
Tentu Ebtanas dan Ebta memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk kelebihannya, seperti nilai hasil ujian (khususnya Ebtanas) dapat dibandingkan, nilai Ebtanas Murni (NEM) dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang yang lebih tinggi, dan dapat dilakukan pemetaan mutu sekolah berdasarkan NEM pada tingkat daerah dan nasional.
Sedangkan kekurangannya, sekolah yang nilai Ebtanasnya rendah cenderung menaikkan (memanipulasi) nilai P dan Q untuk mencapai batas kelulusan, motivasi belajar peserta didik rendah, karena peserta didik beranggapan bahwa semua akan lulus sehingga tidak memotivasi untuk giat belajar.
Ujian Akhir Nasional
Lalu pada 2003 sampai 2004, Ebtanas berubah menjadi Ujian Akhir Nasional atau UAN.
Tujuan UAN adalah untuk menentukan kelulusan, pemetaan mutu pendidikan secara nasional, serta seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kriteria kelulusan UAN 2003 adalah memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, tidak terdapat nilai kurang dari 3.00, dan nilai rata-rata (UAN+UAS) minimal 6.00.
Sedangkan pada UAN 2004, kriteria kelulusan adalah memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, tidak terdapat nilai kurang dari 4.00, nilai rata-rata (UAN+UAS) minimal 6.00.
Ujian Nasional
Ujian Akhir Nasional (UAN) berganti nama menjadi Ujian Nasional atau UN pada 2005 sampai saat ini. Seluruh soal disiapkan oleh pusat dengan menggunakan soal-soal dari Bank Soal Nasional.
UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dibantu Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik).
Penyelenggaraan UN di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, yaitu tingkat provinsi di bawah tanggung jawab gubernur, tingkat kabupaten/kota oleh bupati, dan tingkat sekolah oleh kepala sekolah penyelenggara UN.
Biaya UN ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mutu lulusan berdasarkan nilai rata-rata peserta didik meningkat.
UN diselenggarakan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik pada jenjang satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai hasil dari proses pembelajaran sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Selain itu, salah satu kegunaan hasil UN adalah untuk melakukan pemetaan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada satuan pendidikan.
Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan berkualitas diperlukan adanya sistem penilaian yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat dipertanggunggugatkan (accountable).
Reporter : Fellyanda Suci Agiesta
Sumber : Merdeka
No comments:
Post a Comment